BATITUUD
DAN ANGGOTA BABINSA HADIRI MALAM TIRAKATAN 1 MUHARAM 1439 H/2017 M
Wonogiri rabu (20/09/2017) pukul 19.00
s.d selesai bertempat di Mapolsek Batuwarno Kab. Wonogiri di laksanakan
Tirakatan malam 1 Muharam 1439 H.
Hadir dalam kegiatan tersebut : Camat Batuwarno Teguh Waluyatmo. S.Sos.M.Si.,
Danramil 06/Batuwarno Kodim 0728/Wonogiri yang diwakilkan Bati Tuud
06/Batuwarno Pelda Dedi Kurniawan dan Babinsa Desa Batuwarno Kopka Anton
Wahyudi, Kapolsek Iptu Wartadi S.H, Tomas, Toga serta masyarakat di sekitar
kantor polsek, Kades/Lurah se-Kec.Batuwarno.
Pengenalan diri sebagai kapolsek baru di
wilayah Kec. Batuwarno Iptu Wartadi SH menyampaikan Bagaikan pepatah
mengatakan“Tak Kenal Maka Tak Sayang”, sebagai orang baru tentunya harus
mendekat atau melakukan perkenalan, khususnya dengan Muspika dan Dinas/instansi
terkait, serta harus mengenal masyarakat diwilayah Kec.Batuwarno Kab. Wonogiri.
dengan mengenalkan diri nantinya hubungan kesamping akan lebih mudah, terutama yang
bersifat kedinasan, hal ini untuk menanggulangi adanya margin antara Muspika
khususnya Polsek dengan para Kepala Desa, mengingat Polsek sebagai pemegang
wewenang kamtibmas yang tentunya sangat membutuhkan koordinasi dengan instansi
samping serta Kepala Desa.
Tujuan dilakukanya sambang ini selain
mempererat tali silaturahmi juga sebagai pengenalan karakteristik wilayah
secara Ipolesosbudhankam, bagaimana seorang Kepala akan memimpin jika tidak
kenal dengan wilayah dan orang yang terlibat didalamnya.
Sambutan Camat Batuwarno Teguh
Waluyatmo.S.Sos.M.Si, yang inti nya menyampaikan bulan Suro (Muharram) menurut
Islam merupakan bulan yang terletak di awal tahun menurut penanggalan
hijriyyah. Sudah menjadi tradisi umat Islam di seluruh dunia menggelar doa akhir
tahun di penghujung bulan Dzulhijjah dan doa awal tahun di awal bulan Muharram.
Di Indonesia sendiri, umat Islam dalam
menghadapi bulan Muharram banyak menggelar berbagai macam acara –termasuk doa
awal dan akhir tahun– dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt, seperti
istighosah, mujahadah, i’tikaf, pengajian dan berbagai acara lainnya di
lingkungannya masing-masing (masjid, musholla dan semacamnya).
Pelaksanaan ruwatan menurut tatacara
Islam tentunya dengan menghilangkan ritual-ritual yang mengundang kemusyrikan,
namun tidak merubah makna essensialnya yakni memohon keselamatan kepada Allah
melalui pendekatan budaya seperti hal-hal yang mengandung unsur-unsur dan
simbol-simbol dasar (pagelaran wayang kulit, siraman, potong rambut). Dengan
demikian, disinilah letak kehebatan dakwah ulama-ulama terdahulu (wali songo
tentunya) yang berusaha memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam budaya setempat
tanpa menghapus ajaran Islam yang pokok, sehingga dapat menarik perhatian
masyarakat yang justru lama-kelamaan akan sadar dengan sendirinya atas
kepercayaannya yang selama ini mereka peluk.
Dalam satu sisi mereka menyebarkan agama
Islam, namun di sisi lain mereka tidak berkeinginan untuk menolak apa yang
telah menjadi tradisi mereka. Dengan itu, mereka melakukan dakwah dengan cara
yang santun melalui beberapa inovasi dan konstruksivasi budaya nenek moyang
yang sarat kesyirikan dan kejahiliyyahan yang kemudian diarahkan pada budaya
yang tidak bertentangan dengan Islam. Salah satu contoh yang lazim dilakukan dalam
prosesi ruwatan ini adalah pengambilan air dari sumur tertentu yang sudah
diberi larutan doa yang biasa dipakai oleh seorang kyai untuk siraman.
Kemudian memotong rambut dan labuhan
yang hanya sebatas simbol saja sebagai sarana penyucian diri sebagaimana
seseorang yang bertaubat, mu’allaf ataupun simbol hijrah. Lalu pembuatan
sesajen, yang ditaruh di punden atau tempat-tempat yang dianggap keramat untuk
ditujukan kepada roh-roh halus, kemudian diubah menjadi sedekah. Jadi, walaupun
namanya ruwat, tapi unsur-unsur di dalamnya telah terislamkan.
Meski masyarakat Jawa pada umumnya sudah
mulai paham bahwasanya ruwatan merupakan tradisi yang sarat dengan tahayyul.
Apalagi di zaman modern ini, pola pikir masyarakat yang sudah sangat berkembang
dan maju menganggapnya acara semacam ini hanyalah dongeng belaka, namun mereka
masih sangat berat meninggalkan tradisi yang unik ini karena sudah melekat erat
dengan kebiasaan mereka selaku orang Jawa. Termasuk pagelaran wayang kulit
selaku unsur penting dalam pelaksanaan ruwatan, yang oleh Sunan Kalijaga diubah
inti ceritanya yang sarat dengan kebiasaan lama dan tahayyul untuk diganti
dengan isi cerita yang lebih islami.
Cerita tentang kepahlawanan dan karakter
seorang tokoh, dewa-dewa dan berbagai cerita fiktif lainnya tidak serta-merta
langsung dihilangkan. Misalnya pagelaran wayang kulit yang bercerita tentang
Ramayana dan Mahabarata yang merupakan kisah yang lahir dari ajaran agama
Hindu, kemudian di sela-sela cerita disusupi ajaran-ajaran tasawuf dan syari’at
yang sesungguhnya termasuk agenda dakwah.
Acara dilanjutkan dengan Pembacaan Surat
Yasin dan di tutup dengan doa dipimpin oleh H. Sahran Rosidi.(Pendim 0728/Wng)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar