Sponsor

Selamat Datang di KODIM 0728/Wonogiri.

Kamis, 21 September 2017

Bati Tuud Tirakatan Malam 1 Muharam



BATITUUD DAN ANGGOTA BABINSA HADIRI MALAM TIRAKATAN 1 MUHARAM 1439 H/2017 M


Wonogiri rabu (20/09/2017) pukul 19.00 s.d selesai bertempat di Mapolsek Batuwarno Kab. Wonogiri di laksanakan Tirakatan malam 1 Muharam 1439 H.

Hadir dalam kegiatan tersebut :  Camat Batuwarno Teguh Waluyatmo. S.Sos.M.Si., Danramil 06/Batuwarno Kodim 0728/Wonogiri yang diwakilkan Bati Tuud 06/Batuwarno Pelda Dedi Kurniawan dan Babinsa Desa Batuwarno Kopka Anton Wahyudi,  Kapolsek Iptu Wartadi S.H,  Tomas, Toga serta masyarakat di sekitar kantor polsek, Kades/Lurah se-Kec.Batuwarno.

Pengenalan diri sebagai kapolsek baru di wilayah Kec. Batuwarno Iptu Wartadi SH menyampaikan Bagaikan pepatah mengatakan“Tak Kenal Maka Tak Sayang”, sebagai orang baru tentunya harus mendekat atau melakukan perkenalan, khususnya dengan Muspika dan Dinas/instansi terkait, serta harus mengenal masyarakat diwilayah Kec.Batuwarno Kab. Wonogiri. dengan mengenalkan diri nantinya hubungan kesamping akan lebih mudah, terutama yang bersifat kedinasan, hal ini untuk menanggulangi adanya margin antara Muspika khususnya Polsek dengan para Kepala Desa, mengingat Polsek sebagai pemegang wewenang kamtibmas yang tentunya sangat membutuhkan koordinasi dengan instansi samping serta Kepala Desa.

Tujuan dilakukanya sambang ini selain mempererat tali silaturahmi juga sebagai pengenalan karakteristik wilayah secara Ipolesosbudhankam, bagaimana seorang Kepala akan memimpin jika tidak kenal dengan wilayah dan orang yang terlibat didalamnya.

Sambutan Camat Batuwarno Teguh Waluyatmo.S.Sos.M.Si, yang inti nya menyampaikan bulan Suro (Muharram) menurut Islam merupakan bulan yang terletak di awal tahun menurut penanggalan hijriyyah. Sudah menjadi tradisi umat Islam di seluruh dunia menggelar doa akhir tahun di penghujung bulan Dzulhijjah dan doa awal tahun di awal bulan Muharram.

Di Indonesia sendiri, umat Islam dalam menghadapi bulan Muharram banyak menggelar berbagai macam acara –termasuk doa awal dan akhir tahun– dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt, seperti istighosah, mujahadah, i’tikaf, pengajian dan berbagai acara lainnya di lingkungannya masing-masing (masjid, musholla dan semacamnya).

Pelaksanaan ruwatan menurut tatacara Islam tentunya dengan menghilangkan ritual-ritual yang mengundang kemusyrikan, namun tidak merubah makna essensialnya yakni memohon keselamatan kepada Allah melalui pendekatan budaya seperti hal-hal yang mengandung unsur-unsur dan simbol-simbol dasar (pagelaran wayang kulit, siraman, potong rambut). Dengan demikian, disinilah letak kehebatan dakwah ulama-ulama terdahulu (wali songo tentunya) yang berusaha memasukkan nilai-nilai Islam ke dalam budaya setempat tanpa menghapus ajaran Islam yang pokok, sehingga dapat menarik perhatian masyarakat yang justru lama-kelamaan akan sadar dengan sendirinya atas kepercayaannya yang selama ini mereka peluk.

Dalam satu sisi mereka menyebarkan agama Islam, namun di sisi lain mereka tidak berkeinginan untuk menolak apa yang telah menjadi tradisi mereka. Dengan itu, mereka melakukan dakwah dengan cara yang santun melalui beberapa inovasi dan konstruksivasi budaya nenek moyang yang sarat kesyirikan dan kejahiliyyahan yang kemudian diarahkan pada budaya yang tidak bertentangan dengan Islam. Salah satu contoh yang lazim dilakukan dalam prosesi ruwatan ini adalah pengambilan air dari sumur tertentu yang sudah diberi larutan doa yang biasa dipakai oleh seorang kyai untuk siraman.

Kemudian memotong rambut dan labuhan yang hanya sebatas simbol saja sebagai sarana penyucian diri sebagaimana seseorang yang bertaubat, mu’allaf ataupun simbol hijrah. Lalu pembuatan sesajen, yang ditaruh di punden atau tempat-tempat yang dianggap keramat untuk ditujukan kepada roh-roh halus, kemudian diubah menjadi sedekah. Jadi, walaupun namanya ruwat, tapi unsur-unsur di dalamnya telah terislamkan.

Meski masyarakat Jawa pada umumnya sudah mulai paham bahwasanya ruwatan merupakan tradisi yang sarat dengan tahayyul. Apalagi di zaman modern ini, pola pikir masyarakat yang sudah sangat berkembang dan maju menganggapnya acara semacam ini hanyalah dongeng belaka, namun mereka masih sangat berat meninggalkan tradisi yang unik ini karena sudah melekat erat dengan kebiasaan mereka selaku orang Jawa. Termasuk pagelaran wayang kulit selaku unsur penting dalam pelaksanaan ruwatan, yang oleh Sunan Kalijaga diubah inti ceritanya yang sarat dengan kebiasaan lama dan tahayyul untuk diganti dengan isi cerita yang lebih islami.

Cerita tentang kepahlawanan dan karakter seorang tokoh, dewa-dewa dan berbagai cerita fiktif lainnya tidak serta-merta langsung dihilangkan. Misalnya pagelaran wayang kulit yang bercerita tentang Ramayana dan Mahabarata yang merupakan kisah yang lahir dari ajaran agama Hindu, kemudian di sela-sela cerita disusupi ajaran-ajaran tasawuf dan syari’at yang sesungguhnya termasuk agenda dakwah.

Acara dilanjutkan dengan Pembacaan Surat Yasin dan di tutup dengan doa dipimpin oleh H. Sahran Rosidi.(Pendim 0728/Wng)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar